Menurut Jan van Cuilenburg dan Denis McQuail dalam Media Policy Paradigm Shift: Towards a New Communication Policy Paradigm (2003:181) di Amerika Serikat dan Eropa Barat terdapat tiga fase pergeseran paradigma kebijakan komunikasi dan media. Fase pertama adalah the paradigm of emerging communication industry policy, yang berlangsung hingga PD II. Pada fase ini kebijakan media dan komunikasi berdasarkan pada state interest dan keuntungan ekonomi korporat. Monopoli yang dilakukan pemerintah untuk “mengatur dan memfasilitasi pengenalan dari inovasi-inovasi teknologi” yang saat itu marak terjadi. Hal tersebut dapat kita lihat dari pengalaman yang dialami Amerika Serikat, dimana pada fase tersebut temuan-temuan teknologi komunikasi pada akhirnya menjadi monopoli pihak tertentu. Dengan kata lain pada akhirnya memperlakukan media komunikasi sebagai cabang-cabang industri yang memiliki nilai strategis (Cuilenburg, 2003:188).
Yang kedua adalah the paradigm of public service media policy, yang berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1980/90an). Fase ini titik beratnya lebih kepada aspek sosiopolitik, dimana aspek social mulai dipehatikan. Sedangkan fase yang ketiga adalah new policy paradigm, yang berlangsung sejak tahun 1980/90an hingga detik ini. Pada fase ketiga ini bentuk paradigma kebijakan yang jelas masih dalam proses pencarian. Yakni mencari konvergensi antara berbagai aspek yang ada
Terlepas dari ketiga bentuk paradigma tersebut saya melihat bahwa yang terjadi di Indonesia tampak seperti sebuah siklus. Dimana masa sekarang Indonesia berada pada posisi authoritarian-right. Posisi yang mencerminkan pengaturan media yang masih diwarnai kontrol yang cukup ketat namun sudah berorientasi pada pasar. Oleh karena itu pendekatan ini cenderung untuk melakukan deregulasi pasar namun pada saat yang sama melakukan kontrol yang ketat pada aspek-aspek negatif dari dibukanya pasar tersebut1.
Sistem yang ada memang mengarah pada persaingan pasar, namun di sisi lain tetap terkesan belum liberatorian karena pemerintah yang belum mau melepas kekuasaannya. Dengan kata lain, kita mungkin sedang menyaksikan kembalinya sebuah era di mana pemerintah bersama pemodal besar menentukan apa yang apa yang dapat disaksikan dan didengar oleh rakyat Indonesia melalui pesawat televisi dan radio mereka2.
Sebagai gambaran pada orde baru pemerintah pemerintah dengan beragam produk kebijakannya telah melakukan tiga hal. Berada di jantung sistem penyiaran Indonesia, frekuensi siaran menjadi dikuasai elit yang dekat dengan pemegang kekuasaan, dan terus melindungi kepentingan stasiun-stasiun televisi di Jakarta dari perkembangan yang merugikan stasiun-stasiun tersebut dengan rangkaian kebijakan yang protektif. Sementara saat ini tampaknya bentuk-bentuk semacam itu mulai kembali tampak meskipun tidak secara kasat mata.
UU Penyiaran akhirnya lahir pada 2002 seolah mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk sesuai amanat UU Penyiaran tersebut dimana KPI bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik.
Berdasarkan UU Penyiaran pula TVRI dan RRI yang semula adalah lembaga penyiaran pemerintah diubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik (Bagian keempat Pasal 14 ayat 1-10 tentang Lembaga Penyiaran Publik). Dengan keputusan ini diharapkan mengubah RRI dan TVRI yang selama ini menjadi corong Orba. Selain itu UU Penyiaran juga memperkenalkan kehadiran lembaga penyiaran komunitas (LPK) (Bagian keenam Pasal 21-24 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas). Dari poin-poin tersebut, kehadiran UU Penyiaran tampak semakin mendorong demokratisasi. Namun tetap saja pemerintah masih punya keterlibatan, UU penyiaran menetapkan bahwa peraturan-peraturan lebih lanjut harus disusun oleh KPI bersama pemerintah (Bagian kesebelas Pasal 33 ayat 1-8 tentang Perizinan). Adalah jelas bahwa UU Penyiaran 2002 menetapkan bahwa peran pemerintah tetap ada, namun dibuat sedemikian rupa sehingga lebih dalam tujuan agar menjaga jangan KPI menjadi pemegang kekuasaan mutlak3.
Dan yang lebih mengejutkan lagi mengenai UU Penyiaran ini adalah terjadinya pengajuan peninjauan kembali UU ini kepada MK oleh pihak media. Sesuatu yang mungkin sedikit membuat kita bertanya dan menimbulkan sedikit tuduhan bahwa telah terjadi main mata antara industri media dengan pemerintah. Dimana di satu sisi pihak industri media ingin menjatuhkan UU ini untuk mencegah masuknya pemain-pemain baru yang memperketat persaingan pasar, sedangkan disisi lain memang pemerintah masih ingin menjadi pihak yang memiliki kekuasaan atas sistem penyiaran Indonesia. Namun semoga saja tidak demikian, melainkan lebih pada keinginan bersama untuk menciptakan suatu sistem yang lebih demokratis.
Post a Comment